Yasir Za’atirah
Sejak puluhan tahun lalu, tepatnya setelah penjajahan Israel tahun 67, Al-Quds timur menempati kedudukan yang sangat penting dan sensitive dalam pemahaman setrategi Zionis dan bahkan dalam tataran keyakinan mereka. Secara umum gerakan Zionis di Dunia, terutama di negara-negara maju yakin dengan kedudukan ini. Hal ini bisa dilihat dari acara peresmian Sinagog Haroob yang seharusnya dibuka Selasa kemarin di samping Masjid Al-Aqsha yang dipenuhi tamu undangan dari berbagai negara di dunia.
Masalah ini tidak hanya berkaitan dengan dengan jarak, bahkan dengan tempat lain yang juga terjajah dalam pemahaman kaum Yahudi.
Semua ini mengungkap sejauhmana kelemahan paradigm bangsa Arab yang memaksakan perdamaian dengan Zionis dengan imbalan sebagian kecil wilayah Palestina. Sebagaimana pembicaraan sekarang tentang pembagian Al-Quds.
Namun nyatanya pihak Zionis tidak mau menerima keputusan apapun tentang Al-Quds, maksudnya Kota Lama. Walau mereka diberikan wilayah yang lebih luas juga kemudahan politik, perdamaian dan keamanan dan bahkan normalisasi dengan negara-negara Arab, tetap saja tidak mau terima pembagian kota Al-Quds.
Kalau seandainya paradigm Ben Gorion yang mengatakan, “Tidak ada artinya Israel tanpa Al-Quds dan tidak ada artinya Al-Quds tanpa Haikal, maka pembicaraan apapun tentang Al-Quds hanya sebatas teori atau sebatas provokasi, tak lebih.
Kita ingat, kegagalan perundingan Kamp David tahun 2000 kemarin, bukanlah terkait masalah jarak, wilayah, otoritas ataupun hak kembali. Karena dengan kemurahan Yasir Arafat semuanya dapat dinegosiasikan. Penyebab utama kegagalan perundingan tersebut, terkait masalah Kota Lama. Karena Israel tidak setuju kecuali memberikan sebagian wilayah Al-Quds yang sudah terjajah. Adapun terkait dengan wilayah Arab yang berdampingan dengan Kota Lama, tepatnya yang berkaitan dengan pelataran wilayah Al-Haram termasuk di dalamnya Al-Aqsha dan Qubbah Shakhra, maka sama sekali tidak bisa dinegosiasikan.
Di areal ini, tak ada satupun sinyal dari Zionis untuk mengubah keputusanya. Sebelumnya mereka pernah meminta bagian atas dari Masjid Al-Aqsha dan meminta otoritas di bawahnya. Artinya mereka minta semuanya. Pada saat yang sama mereka terus mencari sisa-sisa bangunan Haikal yang katanya ada di bawah Masjid Al-Aqsha, atau mereka berusaha mencari solusi dari klaimnya selama ini yang terbukti bohong.
Masalah ini juga tidak terkait dengan masjid saja. Agresi Zionis sejak tahun 67 dan penodaan mereka sepanjang sejarah yang sangat biadab. Hingga saat ini, warga Al-Quds menerima kerugian akibat kepentingan Yahudi secara bertahap dan tak pernah berhenti. Kemudian perampasan tanah wargapun kini ditangani oleh perusahaan besar dengan banyak orang tak terhingga jumlahnya dari para arkeolog Yahudi dan yang lainya. Warga Al-Quds juga mengalami pengusiran secara biadab. Bahkan seorang warga Arab, tidak tak mampu dan tidak boleh membangun kamarnya sendiri di rumahnya sendiri. Sementara di sisi lain pembangunan permukiman Yahudi terus meningkat tak terkendali.
Masalah ini tak terpantau para pengamat politik selama beberapa decade. Juga tidak terdeksi angka-angka yang berkaitan dengan penduduk maupun rumah-rumah mereka. Semua itu hanya bisa diakses melalui situs internet, itupun bagi yang memerlukan data saja. Akan tetapi yang kami sampaikan hanya isyarat saja. Bukan maksud kami untuk mengecam sikap Arab ataupun pemerintah resmi Palestina. Yang kami ungkapkan di sini hanya untuk membicarakan “mimpi” perdamaian yang disodorkan kepada kami tanpa henti. Pada saat yang sama semua orang yang punya akal paham, tanpa pelepasan hakiki dari Israel soal Al-Quds timur, perdamaian itu takkan pernah terwujud. Pemerintah Israel manapun tidak ada yang berani menanda tangani perjanjian perdamaian ini dengan pihak Palestina, walau pihak Palestina telah menyerahkan apa saja yang mereka inginkan. Ditambah dengan kerja sama antara pemerintahan Ramallah dengan Olmert, tak cukup untuk meluluhkan hatis Zionis agar mau menerima perdamaian. Sikap keras kepala Zionis mengakibatkan tetap menolak menghentikan permukiman, walau hanya menghentikan permukiman di Al-Quds dan walau hanya sementara.
Kalaulah Zionis sedikit saja memberikan kelenturan dalam masalah ini, maka tentu perundingan tidak akan berjalan hanya beberapa pekan saja dan walau pihak Palestina telah membuka diri dan siap melakukan apa saja. Termasuk di dalamnya berlangsungnya permukiman Zionis di Tepi Barat dengan syarat ditukar dengan wilayah lain. Pihak Palestinapun siap menganulir hak kembali dan hak otoritas penuhnya.
Masalah Al-Quds dan sikap Zionis secara umum menegaskan bahwa perdamaian dengan bangsa ini hampir mustahil, kecuali jika para pemegang keputusan Palestina menerima persyaratan yang tak pernah bisa diterima. Dengan demikian perundingan tiada lain hanya untuk menutupi semakin meluasnya permukiman Zionis dan Yahudisasinya di Al-Quds, dengan memberangus proyek perlawanan, satu-satunya cara untuk menghadapi Israel.
Sumber : Infopalestina